Kyrim - Biaya Persediaan Membengkak Kenali Jenisnya Hindari Kesalahannya Terapkan Strateginya

Biaya Persediaan Membengkak? Kenali Jenisnya, Hindari Kesalahannya, Terapkan Strateginya

Mengelola persediaan bukan hanya soal memastikan stok tersedia di gudang. Lebih dari itu, persediaan adalah salah satu aset paling strategis sekaligus sumber pengeluaran terbesar dalam operasional bisnis berbasis produk. 

Di sinilah pentingnya pelaku usaha memahami biaya persediaan—karena kesalahan kecil dalam mengelola biaya ini dapat berdampak besar terhadap margin laba.

Biaya persediaan mencakup seluruh pengeluaran yang berkaitan dengan pemesanan, penyimpanan, dan pengelolaan stok. Bila dikelola dengan tepat, biaya ini dapat dikendalikan dan bahkan dikurangi tanpa mengorbankan ketersediaan produk. 

Namun, jika diabaikan atau disusun tanpa strategi yang matang, biaya persediaan bisa menjadi beban yang tidak hanya mengurangi kas perusahaan, tetapi juga menghambat pertumbuhan.

Melalui artikel ini, kita akan membahas secara komprehensif apa saja yang termasuk dalam biaya persediaan, bagaimana menghitungnya, kesalahan umum yang perlu dihindari, serta solusi modern yang dapat membantu perusahaan mengelolanya secara lebih efektif.

Apa Itu Persediaan?

Persediaan adalah aset bisnis berbasis produk yang terdiri dari barang-barang yang dimiliki perusahaan dengan tujuan untuk dijual, atau digunakan dalam kegiatan operasional/proses produksi. 

Secara umum, persediaan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama:

1. Bahan Mentah (Raw Materials)

Merupakan bahan dasar yang akan digunakan dalam proses produksi. Contohnya, biji kopi mentah dalam bisnis kopi atau kain dalam industri fashion. Bahan mentah masih perlu melalui serangkaian proses sebelum menjadi produk jadi.

2. Barang Dalam Proses (Work-in-Process/WIP)

Ini adalah barang yang sedang dalam tahap produksi, tetapi belum selesai sepenuhnya. Misalnya, kopi yang sedang dipanggang, atau sepatu yang sedang dijahit di lini produksi.

3. Barang Jadi (Finished Goods)

Produk yang telah selesai diproduksi dan siap dijual kepada pelanggan akhir. Misalnya, kopi yang telah dipanggang, dikemas, dan siap dikirim ke toko atau pelanggan.

Persediaan juga dapat mencakup perlengkapan tambahan seperti kemasan, label, atau bahan pendukung lainnya yang secara langsung digunakan dalam penyusunan produk akhir. Misalnya, kantong kemasan kopi, botol untuk minuman, atau kotak pengiriman.

Dalam akuntansi dan pelaporan keuangan, persediaan dikategorikan sebagai aset lancar karena pada akhirnya akan dikonversi menjadi pendapatan dalam siklus bisnis normal. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, persediaan justru bisa menjadi beban—baik karena kedaluwarsa, usang, rusak, atau karena menumpuk tanpa permintaan yang cukup.

Sebagai contoh:

Dalam bisnis kopi, persediaan mencakup mulai dari biji kopi (bahan mentah), biji kopi yang sedang diolah (barang dalam proses), hingga kopi siap saji dalam kemasan (barang jadi). Masing-masing persediaan tersebut memiliki karakteristik biaya, risiko, dan strategi pengelolaan yang berbeda.

5 Kategori Utama Biaya Persediaan

Berikut di bawah ini adalah kategori dalam biaya persediaan yang perlu dipahami oleh pelaku usaha.

1. Biaya Pemesanan (Ordering Cost)

Biaya pemesanan adalah seluruh pengeluaran yang terjadi setiap kali perusahaan melakukan pemesanan ulang barang atau bahan baku dari pemasok. 

Biaya ini biasanya bersifat tetap untuk setiap transaksi, terlepas dari jumlah barang yang dipesan.

Dalam praktiknya, biaya ini mencakup proses administrasi seperti pembuatan dokumen pemesanan atau purchase order, kegiatan pengadaan dan pengarsipan, serta koordinasi dengan pemasok. 

Selain itu, juga termasuk ongkos kirim dari pemasok ke lokasi perusahaan, serta biaya yang dikeluarkan untuk menerima dan memeriksa barang yang datang. 

2. Biaya Penyimpanan (Carrying Cost)

Biaya penyimpanan adalah akumulasi dari seluruh biaya yang timbul akibat menyimpan persediaan dalam jangka waktu tertentu. 

Biasanya dihitung sebagai persentase dari nilai rata-rata persediaan tahunan. Komponen dalam biaya ini bisa meliputi sewa gudang, pajak, dan asuransi atas barang persediaan, serta biaya tenaga kerja gudang termasuk keamanan. 

Selain itu, terdapat pula biaya utilitas seperti penerangan, pendingin, dan perawatan fasilitas penyimpanan. Risiko penyusutan juga menjadi bagian dari biaya ini, mencakup kerusakan, kehilangan, atau kedaluwarsanya barang. 

Tak kalah penting, biaya modal juga harus diperhitungkan karena dana yang digunakan untuk membeli dan menyimpan barang tersebut tidak bisa digunakan untuk keperluan lainnya. 

3. Biaya Kekurangan Stok (Stockout Cost)

Biaya kekurangan stok timbul ketika permintaan pelanggan tidak dapat dipenuhi karena stok barang kosong. 

Kerugian akibat kondisi ini dapat langsung terasa, misalnya hilangnya potensi penjualan atau terpaksa melakukan pembelian darurat dengan harga yang lebih tinggi. 

Namun, ada juga kerugian tidak langsung yang bisa lebih berdampak dalam jangka panjang, seperti menurunnya kepercayaan pelanggan, berkurangnya loyalitas, bahkan merusak reputasi merek.

Misalnya, pelanggan yang kecewa karena barang favoritnya habis mungkin akan memilih pesaing dan tidak kembali. Dalam jangka panjang, ini dapat menjadi pukulan besar bagi bisnis.

4. Biaya Kerusakan atau Barang Usang (Spoilage Cost)

Biaya jenis ini berkaitan dengan kerugian akibat persediaan yang rusak, kadaluarsa, atau tidak relevan lagi dengan kebutuhan pasar. Persediaan yang disimpan terlalu lama, terutama barang dengan masa simpan pendek seperti makanan, produk fashion musiman, sangat rentan terhadap biaya ini. 

Ketika barang tidak bisa lagi dijual dengan harga normal, perusahaan mungkin terpaksa menjualnya dengan diskon besar, atau menggunakan promo bundling dengan produk lain, untuk menghindari kerugian total.

5. Biaya Layanan (Service Cost)

Biaya layanan persediaan merupakan semua pengeluaran yang dikeluarkan untuk menjaga agar inventaris tetap aman, legal, dan terkelola dengan baik. 

Komponen utamanya mencakup asuransi, pajak, serta sistem pengelolaan persediaan. Dalam hal perlindungan, asuransi dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko seperti pencurian, kecelakaan kerja, atau bencana alam yang dapat menyebabkan kerugian atas barang yang disimpan. 

Pajak juga menjadi bagian dari biaya ini, karena inventaris dalam jumlah besar biasanya dikenakan pajak, yang besarannya akan meningkat seiring dengan nilai dan volume persediaan yang dimiliki.

Sementara itu, untuk memastikan akurasi dan pelacakan stok yang efisien, terutama ketika volume persediaan sudah sangat besar, perusahaan perlu mengadopsi sistem pengelolaan seperti perangkat lunak ERP atau sistem barcode

Sistem ini membantu meminimalkan kesalahan manusia dan mengurangi risiko kehilangan atau salah penempatan barang. 

Strategi Manajemen Biaya Persediaan

Terdapat beberapa metode populer yang digunakan untuk mengelola biaya persediaan. Setiap metode memiliki keunggulannya masing-masing, tergantung pada jenis bisnis, fluktuasi harga barang, serta tujuan manajemen.

1. FIFO (First In, First Out)

Strategi FIFO mengasumsikan bahwa barang yang pertama dibeli adalah yang pertama dijual. Dengan kata lain, strategi yang digunakan adalah stok lama keluar lebih dulu, dan persediaan yang tersisa di akhir periode adalah barang yang paling baru dibeli. 

Pendekatan ini banyak digunakan dalam industri dengan barang mudah rusak, seperti makanan atau farmasi.

Dalam sistem FIFO, harga pokok penjualan biasanya lebih rendah saat harga barang naik, sehingga laba perusahaan cenderung lebih tinggi. 

Sebagai contoh, jika kamu membeli 100 unit dengan harga Rp10.000 dan kemudian membeli lagi 100 unit dengan harga Rp12.000, maka ketika kamu menjual 100 unit pertama, biaya yang dicatat adalah Rp10.000 per unit.

2. LIFO (Last In, First Out)

Metode LIFO kebalikannya dari FIFO. Barang terakhir yang dibeli diasumsikan sebagai yang pertama dijual.  Strategi ini berguna dalam kondisi inflasi jika perusahaan ingin mencatat harga pokok penjualan yang lebih tinggi, sehingga laba tercatat lebih rendah dan beban pajak dapat ditekan.

Meski dalam praktik fisiknya barang bisa saja dijual dengan urutan berbeda, pendekatan ini fokus pada urutan pengeluaran biaya berdasarkan tanggal pembelian. LIFO banyak dipakai di sektor manufaktur yang seringkali menghadapi fluktuasi harga bahan baku.

3. Average Cost (Metode Rata-Rata)

Dalam metode ini, biaya persediaan dihitung dengan membagi total biaya barang tersedia untuk dijual dengan jumlah unit yang tersedia. Metode ini menghasilkan nilai rata-rata yang digunakan baik untuk menghitung HPP maupun nilai persediaan akhir.

Strategi ini cocok untuk bisnis yang memiliki produk homogen dan melakukan pembelian dalam jumlah besar secara berkala, seperti bahan kimia, logam, atau plastik. Kelebihannya adalah mengurangi dampak fluktuasi harga ekstrem dan memberikan pendekatan yang stabil serta konsisten.

Sebagai contoh, jika total biaya persediaan adalah Rp11.150 untuk 1.950 unit barang, maka biaya rata-ratanya adalah sekitar Rp5.72 per unit.

4. Strategi Zero Inventory

Berbeda dengan pendekatan akuntansi, strategi zero inventory lebih bersifat manajerial. Konsep ini bertujuan untuk menyimpan sesedikit mungkin stok di gudang, bahkan sebisa mungkin nihil. 

Perusahaan seperti Toyota dan Dell telah membuktikan efektivitas strategi ini lewat sistem Just-In-Time (JIT), yang memproduksi barang sesuai permintaan.

Keuntungan utamanya adalah penghematan biaya penyimpanan, peningkatan perputaran stok, dan pembebasan modal kerja untuk kebutuhan lainnya. Namun, strategi ini membutuhkan sistem rantai pasok yang sangat andal dan teknologi informasi yang memadai agar risiko kehabisan stok bisa diminimalkan.

Kesalahan dalam Pengelolaan Biaya Persediaan

Dalam pengelolaan bisnis, persediaan kerap dianggap sekadar stok barang di gudang. Padahal, jika tidak dikelola dengan benar, persediaan bisa menjadi sumber biaya tersembunyi yang membebani keuangan perusahaan. 

Banyak kesalahan umum terjadi, terutama ketika perusahaan terlalu fokus pada penjualan atau produksi, tanpa memperhatikan detail manajemen persediaan secara menyeluruh.

Berikut ini adalah beberapa kesalahan paling umum dalam pengelolaan biaya persediaan yang perlu diwaspadai oleh pelaku usaha:

1. Meremehkan Perencanaan dan Pelacakan Stok

Tanpa perencanaan yang baik, perusahaan sangat rentan mengalami kelebihan stok, yang berdampak pada biaya penyimpanan yang meningkat.

Sebaliknya, ketika stok terlalu sedikit maka perusahaan tidak dapat memenuhi permintaan pelanggan.

Masalah ini umumnya diperparah oleh ketiadaan sistem pelacakan real-time yang terintegrasi, sehingga manajemen kesulitan mengambil keputusan yang cepat dan tepat terkait ketersediaan barang.

2. Memisahkan Forecasting dari Manajemen Persediaan

Kesalahan lainnya adalah ketika proses peramalan permintaan (forecasting) dijalankan secara terpisah dari manajemen persediaan. 

Padahal, keduanya seharusnya berjalan selaras. Tanpa keterkaitan langsung antara proyeksi penjualan dengan perencanaan stok, risiko overordering atau underordering menjadi sangat tinggi.

Dalam banyak kasus, perusahaan membeli terlalu banyak barang yang tidak diperlukan atau justru kekurangan barang yang sedang dibutuhkan pasar.

3. Pembelian Besar Tanpa Pertimbangan Data

Sering kali, perusahaan tergiur melakukan pembelian besar dalam rangka mendapatkan harga diskon atau efisiensi ongkos kirim. Namun, pembelian dalam jumlah besar tanpa analisis data yang tepat dapat menjadi keputusan yang merugikan. 

Tanpa memperhatikan riwayat penjualan, tingkat perputaran barang (inventory turnover), atau tren pasar, stok yang dibeli dalam jumlah besar justru bisa menumpuk dan menjadi beban. 

Kesalahan umum lainnya termasuk membeli barang musiman tanpa strategi penjualan yang matang atau mengabaikan masa simpan produk yang terbatas.

4. Menyimpan Stok Mati (Dead Stock)

Dead stock adalah barang yang tidak laku terjual atau tidak bergerak dalam waktu lama. Menyimpan stok mati tanpa evaluasi berkala dapat menumpuk biaya penyimpanan dan menyumbat cash flow perusahaan.

5. Mengabaikan Solusi Digital untuk Manajemen Pengeluaran

Masih banyak pelaku usaha yang terlalu mengandalkan pencatatan manual atau spreadsheet sederhana untuk mengelola biaya terkait persediaan.

Padahal, pendekatan ini menyulitkan dalam mengidentifikasi dan mengendalikan pengeluaran yang tersembunyi, seperti biaya pemesanan, pengiriman, penyimpanan, atau bahkan biaya-biaya administratif yang tersebar di berbagai departemen. 

Tanpa sistem yang terintegrasi, perusahaan sering kali tidak memiliki visibilitas penuh atas bagaimana anggaran persediaan dibelanjakan dan di mana potensi inefisiensi terjadi.

Optimalkan Pengelolaan Biaya Persediaan dengan Kyrim

Setelah memahami berbagai aspek dan tantangan dalam pengelolaan biaya persediaan, kini saatnya melihat bagaimana teknologi dapat menjadi solusinya. 

Salah satu platform yang dapat membantu bisnis dalam mengelola dan mengoptimalkan biaya persediaan adalah Kyrim, sebuah Spend Management Platform yang dirancang untuk menghadirkan efisiensi dalam pengeluaran perusahaan.

Meski Kyrim bukan alat khusus untuk manajemen persediaan atau purchasing, platform ini berperan besar dalam mengelola pengeluaran yang berkaitan dengan siklus persediaan, mulai dari pengadaan hingga pembayaran.

Salah satu akar masalah dari biaya persediaan yang membengkak adalah kurangnya visibilitas terhadap pengeluaran. Kyrim memberikan tampilan menyeluruh atas semua transaksi pengeluaran bisnis.

Table of Contents